Apakah Masyarakat Indonesia Siap Melawan Corona?

Ilustrasi

Oleh: Allhaqhi Fahmi Ramadhan (Mahasiswa Unversitas Bengkulu, Semester 4

PENDAHULUAN

Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Walaupun lebih banyak menyerang lansia, virus ini sebenarnya bisa menyerang siapa saja, mulai dari bayi, anak-anak, hingga orang dewasa, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui.

Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan. Hal tersebut membuat beberapa negara menerapkan kebijakan untuk memberlakukan lockdown dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona. Di Indonesia sendiri, diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus ini.

Coronavirus adalah kumpulan virus yang bisa menginfeksi sistem pernapasan. Pada banyak kasus, virus ini hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan, seperti flu. Namun, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti infeksi paru-paru (pneumonia).

Selain virus SARS-CoV-2 atau virus Corona, virus yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah virus penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan virus penyebab Middle-East Respiratory Syndrome (MERS). Meski disebabkan oleh virus dari kelompok yang sama, yaitu coronavirus, COVID-19 memiliki beberapa perbedaan dengan SARS dan MERS, antara lain dalam hal kecepatan penyebaran dan keparahan gejala.

Gejala awal infeksi virus Corona atau COVID-19 bisa menyerupai gejala flu, yaitu demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan, dan sakit kepala. Setelah itu, gejala dapat hilang dan sembuh atau malah memberat. Penderita dengan gejala yang berat bisa mengalami demam tinggi, batuk berdahak bahkan berdarah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala-gejala tersebut muncul ketika tubuh bereaksi melawan virus Corona.

Secara umum, ada 3 gejala umum yang bisa menandakan seseorang terinfeksi virus Corona, yaitu:

  • Demam (suhu tubuh di atas 38 derajat Celsius)
  • Batuk kering
  • Sesak napas

Ada beberapa gejala lain yang juga bisa muncul pada infeksi virus Corona meskipun lebih jarang, yaitu:

  • Diare
  • Sakit kepala
  • Konjungtivitis
  • Hilangnya kemampuan mengecap rasa atau mencium bau
  • Ruam di kulit

Gejala-gejala COVID-19 ini umumnya muncul dalam waktu 2 hari sampai 2 minggu setelah penderita terpapar virus Corona.

Infeksi virus Corona atau COVID-19 disebabkan oleh coronavirus, yaitu kelompok virus yang menginfeksi sistem pernapasan. Pada sebagian besar kasus, coronavirus hanya menyebabkan infeksi pernapasan ringan sampai sedang, seperti flu. Akan tetapi, virus ini juga bisa menyebabkan infeksi pernapasan berat, seperti pneumonia, Middle-East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Ada dugaan bahwa virus Corona awalnya ditularkan dari hewan ke manusia. Namun, kemudian diketahui bahwa virus Corona juga menular dari manusia ke manusia.

Seseorang dapat tertular COVID-19 melalui berbagai cara, yaitu:

  • Tidak sengaja menghirup percikan ludah (droplet) yang keluar saat penderita COVID-19 batuk atau bersin
  • Memegang mulut atau hidung tanpa mencuci tangan terlebih dulu setelah menyentuh benda yang terkena cipratan ludah penderita COVID-19.
  • Kontak jarak dekat dengan penderita COVID-19

Virus Corona dapat menginfeksi siapa saja, tetapi efeknya akan lebih berbahaya atau bahkan fatal bila terjadi pada orang lanjut usia, ibu hamil, orang yang memiliki penyakit tertentu, perokok, atau orang yang daya tahan tubuhnya lemah, misalnya pada penderita kanker.

Karena mudah menular, virus Corona juga berisiko tinggi menginfeksi para tenaga medis yang merawat pasien COVID-19. Oleh karena itu, para tenaga medis dan orang-orang yang memiliki kontak dengan pasien COVID-19 perlu menggunakan alat pelindung diri (APD).

Pada kasus yang parah, infeksi virus Corona bisa menyebabkan beberapa komplikasi berikut ini:
Pneumonia (infeksi paru-paru) Infeksi sekunder pada organ lain:

  • Gagal ginjal
  • Acute cardiac injury
  • Acute respiratory distress syndrome
  • Kematian

Lonjakan atau tambahan data kasus positif baru virus corona (Covid-19) di Indonesia mencapai rekor tertinggi hari ini, Rabu (13/5). Dalam konferensi pers, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan hari ini ada tambahan 689 kasus positif virus corona (Covid-19) per pukul 12.00 WIB. 

penambahan kasus positif itu merupakan yang paling tinggi sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama dan kedua pertama pada 2 Maret 2020 lalu. Dengan penambahan 689 kasus positif baru itu, maka per hari ini jumlah pasien positif Covid-19 mencapai 15.438 kasus. Total pasien positif menjadi 15.438 kasus (sehari sebelumnya 14.749. 

Hasil konfirmasi kasus tersebut didapat dari pengujian 169.195 spesimen dengan menggunakan metode real-time Polymerase Chain Reaction (PCR) dan juga Tes Cepat Molekuler (TCM) pada 123.572 orang, merujuk pada data corona yang dipublikasi pemerintah lewat situs covid19.go.id, tambahan kasus positif tertinggi sempat terjadi pada 9 Mei lalu yaitu 533 kasus positif, dan pada 5 Mei yang mencapai 484 kasus positif. 

Sementara itu, berdasarkan pada laporan media harian Covid-19 pada 13 Mei 2020, penambahan kasus terbanyak terjadi di wilayah DKI Jakarta yang mencapai 132 kasus positif, Jawa Timur 103 kasus positif, yang mana keduanya mencapai angka tiga digit jumlah kenaikan. Setelah itu, kasus terbanyak pun ditemukan di wilayah Sulawesi Tenggara yang mencapai 81 kasus positif, kemudian Sulawesi Selatan dengan 55 kasus positif, dan Sumatera Selatan 43 kasus. 

Maka di sini penulis tertarik untuk membuat sebuah opini tentang “ APAKAH MASYARAKANT INDONESIA  SIAP MELAWAN VIRUS CORONA ? “

PEMBAHASAN

APAKAH MASYARAKAT INDONESIA SIAP MELAWAN VIRUS CORONA ?

Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga negara Indonesia dinyatakan positif COVID-19 di tanah air. Kini, kasus infeksi positif COVID-19 di Indonesia terus bertambah bak jamur di musim hujan.

Lonjakan atau tambahan data kasus positif baru virus corona (Covid-19) di Indonesia mencapai rekor tertinggi hari ini, Rabu (13/5). Dalam konferensi pers, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengatakan hari ini ada tambahan 689 kasus positif virus corona (Covid-19) per pukul 12.00 WIB. 

penambahan kasus positif itu merupakan yang paling tinggi sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama dan kedua pertama pada 2 Maret 2020 lalu. Dengan penambahan 689 kasus positif baru itu, maka per hari ini jumlah pasien positif Covid-19 mencapai 15.438 kasus. Total pasien positif menjadi 15.438 kasus (sehari sebelumnya 14.749. 

Hasil konfirmasi kasus tersebut didapat dari pengujian 169.195 spesimen dengan menggunakan metode real-time Polymerase Chain Reaction (PCR) dan juga Tes Cepat Molekuler (TCM) pada 123.572 orang, merujuk pada data corona yang dipublikasi pemerintah lewat situs covid19.go.id, tambahan kasus positif tertinggi sempat terjadi pada 9 Mei lalu yaitu 533 kasus positif, dan pada 5 Mei yang mencapai 484 kasus positif. 

Sementara itu, berdasarkan pada laporan media harian Covid-19 pada 13 Mei 2020, penambahan kasus terbanyak terjadi di wilayah DKI Jakarta yang mencapai 132 kasus positif, Jawa Timur 103 kasus positif, yang mana keduanya mencapai angka tiga digit jumlah kenaikan. Setelah itu, kasus terbanyak pun ditemukan di wilayah Sulawesi Tenggara yang mencapai 81 kasus positif, kemudian Sulawesi Selatan dengan 55 kasus positif, dan Sumatera Selatan 43 kasus. 

Merujuk pada perkembangan data di laman covid-19.go.id, setelah terjadi penurunan hingga 11 mei lalu, jumlah kasus positif terus menanjak hingga saat ini. Di satu sisi, merujuk pada data covid-19.go.id, pasien corona yang sembuh per hari ini ada tambahan 224 orang. Sehingga, total pasien sembuh telah mencapai 3.287 per 13 Mei 2020 atau 21,3 persen dari kasus positif. Lonjakan pasien sembuh hari ini sendiri merupakan tertinggi kedua setelah 5 Mei lalu yang mencapai 243 orang. 

Sementara itu untuk data pasien meninggal, masih dari sumber yang sama per 13 Mei 2020 ini ada tambahan 21 jiwa. Untuk lonjakan pasien meninggal ini masih fluktuatif naik turun sejak sempat turun drastis pada 8 Mei lalu. Sementara itu, jumlah kematian tertinggi harian tercatat pada 14 April lalu yakni mencapai 60 orang. Total kematian akibat Covid-19 sendiri saat ini sudah mencapai 1.028 atau 6,7 persen dari kasus positif.

MENGAPA MASYARAKAT TIDAK SIAP MELAWAN VIRUS CORONA ?
 

Faktor Ekonomi 
Kepada DW Indonesia, ekonom dari Institute for Development of Economis and Finance, INDEF, memaparkan sejumlah risiko yang akan dialami Indonesia jika kebijakan karantina diberlakukan. 

Pertama, jika karantina wilayah diberlakukan, pemerintah akan memiliki kewajiban untuk menjamin kebutuhan hidup dari sisi pangan bagi seluruh masyarakat. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Contohnya, untuk di Jakarta saja pemerintah harus menggelontorkan dana 300 miliar rupiah dalam sebulan yang ditujukan bagi 1,5 juta pekerja informal di ibu kota. Perhitungan ini dilakukan dengan asumsi pemerintah memberikan bantuan uang tunai sebesar 200 ribu rupiah per bulan. 

Kalaupun pemerintah memberikan uang tunai bagi masyarakat, tantangan lain yang muncul adalah terkait akses masyarakat terhadap kebutuhan pokok. Jika karantina diberlakukan, permintaan kebutuhan pokok akan meningkat drastis, sehingga kepanikan dan aksi borong bahan pokok dikhawatirkan dapat terjadi.

Dari sisi anggaran, kemampuan pemerintah juga sangat terbatas untuk memberi subsisi kepada masyarakat karena penerimaan negara yang tertekan. Ini menjelaskan dengan turunnya harga minyak dunia dan harga komoditas lain di tengah pandemi COVID-19 saat ini, negara berpotensi kehilangan penerimaan baik pajak maupun bukan pajak. Dengan demikian, di Indonesia opsi karantina membuat pemerintah serba salah.  

Masih Sulitnya Penerapan Social Distancing Di Indonesia 

Jika dilihat dari sudut pandang karakter masyarakat, pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati menyebut bahwa opsi lockdown di Indonesia cenderung sulit untuk direalisasikan, apalagi jika sampai menerapkan sanksi bagi yang melanggar.

Tiga faktor menjadi penyebabnya, yaitu sosial, kultural dan spiritual. Secara sosial, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat komunal, artinya memiliki ketergantungan yang sangat kuat atas kebersamaan dengan orang lain. Secara kultural, ia menyebut bahwa masyarakat Indonesia masuk dalam kategori 'masyarakat jangka pendek' atau short term society, yang ditandai dengan jargon "kita hidup untuk hari ini." Hal ini berbeda dengan masyarakat barat yang menurutnya masuk dalam kategori long term society, di mana warganya terbiasa menyusun langkah-langkah hidup secara sistematis. Hal inilah yang membuat konteks pengaturan masyarakat barat akan lebih mudah untuk diajak duduk bicara secara objektif, untuk memikirkan langkah-langkah ke depan dalam berbagai aspek kehidupan. Selain itu, aspek spiritual yang sangat kuat membuat masyarakat selalu percaya bahwa akan ada kekuatan lain yang membantu mereka melampaui persoalan-persoalan yang ada, dalam hal ini bencana COVID-19. Alih-alih menerapkan lockdown apalagi dengan sanksi, masyarakat lebih baik diberikan insentif supaya mereka tergerak untuk mau melakukan penjagaan jarak aman dari kerumunan sosial. 

Anakronisme perspektif 

Ketidaksesuaian kronologis dari sudut pandang yang harus dipikirkan dan disadari bersama sekarang ini, yaitu resiko tingkat moralitas akibat hadirrnya faktor-faktor penghambat penanganan wabah ini. Salah satu faktor yang dapat memperlambat, bahkan memperburuk, penanganan persebaran Covid-19 yang beredar luas di masyarakat. Yang dimaksud anakronisme perspektif di sini adalah cara pandang yang kurang tepat dalam menyikapi dan merespons persebaran virus ini. Dalam banyak kasus, anakronisme ini menjadi semacam “kengototan” untuk tidak mengatakan kekonyolan sosial yang pada gilirannya turut menghambat penanganan Covid-19 ini. 

Di antara sekian banyak anakronisme perspektif yang beredar di masyarakat, sekurangnya ada dua contoh yang paling mencolok. Pertama, anakronisme sosial-budaya. Sebagaimana yang terjadi dimasyarakat kita dicirikan oleh budaya komunitarian-komunalistik dalam sebuah unit sosial yang saling berjejaring. Masyarakat kita dikenal memiliki ikatan sosiologis yang kuat melalui pola hidup gotong-royong sebagai bentuk kepedulian dan empati sosial kita kepada sesama. Ikatan sosiologis tersebut seringkali melalui sentuhan fisik seperti bersalaman, berpelukan, cium pipi, dan semacamnya. 

Menghentikan setidaknya untuk sementara manifestasi komunitarian tersebut demi mencegah persebaran Covid-19 tentu saja bukan persoalan mudah bagi masyarakat kita. Tentu saja ada perasaan ganjil, kikuk, dan tidak lazim ketika mereka mengabaikan kebiasaan sosial yang sebagaimana biasanya. Pasti ada sesuatu yang hilang ketika masyarakat kita dipaksa untuk menghentikan sementara kebiasaan sosial tersebut karena ada kontradiksi kognitif antara nalar kesehatan seperti menjaga jarak sosial (social distancing) dengan nalar komunitarian tersebut. 
Pengabaian terhadap norma-norma sosial di atas tentu saja dapat menimbulkan gangguan sosial-budaya karena norma-norma tersebut telanjur membentuk gugusan kebermaknaan eksistensial di kalangan masyarakat kita. Dari sinilah sebagian masyarakat kita cenderung mengacuhkan pada aturan medis pencegahan Covid-19 sebagaimana dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang berwewenang. Bagi sebagian orang dimaknai sebagai upaya mengurangi kebermaknaan sosial yang telah ada keberadaannya yang kuat di masyarakat. 

Anakronisme kedua adalah dasar pemahaman keagamaan masyarakat kita yang berlawanan dengan Aturan pencegahan Covid-19. Melalui beragam media sosial, berbagai macam narasi keagamaan yang mengacuhkan, mereduksi, bahkan “melawan” Aturan medis pencegahan Covid-19.  

Di antara narasi keagamaan yang cukup populer di masyarakat adalah menyangkut teologi kematian sebagai hak prerogatif Tuhan, pandemi Covid-19 sebagai adzab (hukuman) Tuhan atas dosa-dosa manusia, tidak perlu takut kepada siapapun termasuk kepada Covid-19 kecuali hanya kepada Tuhan, social distancing merupakan strategi mendangkalkan iman, dan seterusnya. 

Anakronisme pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan aturan medis pencegahan Covid-19 menjadi batu sandungan serius di tengah kerja keras semua pihak terutama tim medis sebagai garda depan paling beresiko dalam pencegahan dan menghentikan persebaran Covid-19. Padahal, masyarakat yang memiliki perspektif anakronistik tersebut pada ujungnya akan menjadi kelompok rentan terpapar terhadap virus ini jika mereka tetap melakukan pembangkangan. Ketika mereka menjadi mata rantai penularan, maka efek domino persebarannya jelas akan merepotkan tim satgas penanganan Covid-19 dan pemerintah. 

Nalar kesehatan 

Jika dibiarkan, dua contoh anakronisme perspektif di atas menjadi penghambat penanganan persebaran pandemi Covid-19 yang pergerakannya semakin liar, masif, dan eksponensial. Wajar saja jika tingkat moralitas akibat persebaran virus ini di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara (8,46%) akibat tindakan yang tidaksesuai dari sikap non-ilmiah tersebut. Sikap semacam ini telanjur menciptakan zona nyaman bagi mereka yang tidak terbiasa dengan pola hidup disiplin dan taat-asas (compliance), dua syarat utama untuk mempercepat penanganan Covid-19. 

Sepanjang menyangkut cara berpikir dan gaya hidup individu yang tidak berdampak langsung terhadap kehidupan publik, anakronisme perspektif di atas barangkali tidak perlu dipermasalahkan. Namun jika sudah berlawanan dengan nalar kesehatan dan kebijakan publik, maka Negara memiliki otoritas untuk melakukan tindakan memaksa (coercive measures) dalam rangka menerapkan aturan medis pencegahan Covid-19 yang berbasis pada nalar kesehatan dan sikapsikap ilmiah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak membebani negara dalam penanganan Covid-19. Sekali lagi, jika tidak bisa menjadi solusi, maka kita jangan menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. 

Sikap ilmiah yang dimaksud dalam memahami dan merespons pandemi Covid-19 mewujud dalam nalar induktif sebagai mekanisme memahami realitas sosial. Nalar induktif adalah mekanisme kognitif sebab-akibat berdasar pada realitas empiris kehidupan masyarakat. Sementara itu, nalar deduktif adalah realitas normatif yang jika diturunkan dalam realitas empiris tidak selalu diakronistik atau sejalan dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, maka yang terjadi adalah anakronisme perspektif sebagaimana dijelaskan di atas. 
Konsekuensinya, menderivasi teks suci untuk menjustifikasi realitas pandemi Covid-19 juga tidak bisa dilakukan secara ceroboh. Pendasaran nalar keagamaan dalam memahami pandemi ini hanya akan memperburuk situasi karena berlawanan dengan nalar kesehatan. Oleh karena itu, akan lebih bijak dan maslahat jika kita serahkan persoalan pandemi Covid-19 kepada ahlinya. Jangan ada tindaka yang tidak di perlukan. Nyawa seseorang jauh lebih berharga ketimbang memenangkan perdebatan publik terkait penanganan Covid-19. 

Dalam nalar induktif ini, yang berlaku adalah argumentasi sebab-akibat dari apa yang telah terjadi kedepannya (evidence-based), dan bukan argumentasi dari apa yang sebelumnya terjadi. Mengikuti Immanuel Kant (1878), nalar apriori adalah kognisi matematis-logis dari sebuah konstruksi konsep tertentu. Sementara itu, nalar aposteriori adalah argumentasi yang dibangun dari serangkaian fakta empiris yang telah diujikan secara ketat di laboratorium atau realitas empiris. Dalam Bahasa Ibnu Taymiyah (w. 1328), kebenaran terletak di realitas kehidupan, bukan di akal pikiran (al-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan). Sekalipun logis, tetapi tidak didukung oleh fakta empiris, tidak bisa dijadikan sebagai dasar argumentasi untuk pengambilan keputusan dalam penanganan pandemi Covid-19.

KESIMPULAN

Pencegahan Virus Corona (COVID-19)
Sampai saat ini, belum ada vaksin untuk mencegah infeksi virus Corona atau COVID-19. Oleh sebab itu, cara pencegahan yang terbaik adalah dengan menghindari faktor-faktor yang bisa menyebabkan Anda terinfeksi virus ini, yaitu: 

  • Terapkan physical distancing, yaitu menjaga jarak minimal 1 meter dari orang lain, dan jangan dulu ke luar rumah kecuali ada keperluan mendesak.
  • Gunakan masker saat beraktivitas di tempat umum atau keramaian, termasuk saat pergi berbelanja bahan makanan.
  • Rutin mencuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer yang mengandung alkohol minimal 60%, terutama setelah beraktivitas di luar rumah atau di tempat umum.
  • Jangan menyentuh mata, mulut, dan hidung sebelum mencuci tangan.
  • Tingkatkan daya tahan tubuh dengan pola hidup sehat.
  • Hindari kontak dengan penderita COVID-19, orang yang dicurigai positif terinfeksi virus Corona, atau orang yang sedang sakit demam, batuk, atau pilek.
  • Tutup mulut dan hidung dengan tisu saat batuk atau bersin, kemudian buang tisu ke tempat sampah.
  • Jaga kebersihan benda yang sering disentuh dan kebersihan lingkungan, termasuk kebersihan rumah.

Untuk orang yang diduga terkena COVID-19 atau termasuk kategori ODP (orang dalam pemantauan) maupun PDP (pasien dalam pengawasan), ada beberapa langkah yang bisa dilakukan agar virus Corona tidak menular ke orang lain, yaitu:

  • Lakukan isolasi mandiri dengan cara tinggal terpisah dari orang lain untuk sementara waktu. Bila tidak memungkinkan, gunakan kamar tidur dan kamar mandi yang berbeda dengan yang digunakan orang lain.
  • Jangan keluar rumah, kecuali untuk mendapatkan pengobatan.
  • Bila ingin ke rumah sakit saat gejala bertambah berat, sebaiknya hubungi dulu pihak rumah sakit untuk menjemput.
  • Larang orang lain untuk mengunjungi atau menjenguk Anda sampai Anda benar-benar sembuh.
  • Sebisa mungkin jangan melakukan pertemuan dengan orang yang sedang sedang sakit.
  • Hindari berbagi penggunaan alat makan dan minum, alat mandi, serta perlengkapan tidur dengan orang lain.
  • Pakai masker dan sarung tangan bila sedang berada di tempat umum atau sedang bersama orang lain.
  • Gunakan tisu untuk menutup mulut dan hidung bila batuk atau bersin, lalu segera buang tisu ke tempat sampah.

Kondisi-kondisi yang memerlukan penanganan langsung oleh dokter di rumah sakit, seperti melahirkan, operasi, cuci darah, atau vaksinasi anak, perlu ditangani secara berbeda dengan beberapa penyesuaian selama pandemi COVID-19. Tujuannya adalah untuk mencegah penularan virus Corona selama Anda berada di rumah sakit. Konsultasikan dengan dokter mengenai tindakan terbaik yang perlu dilakukan.

Jika dikaitkan dengan Masalah yang terjadi saat ini seperti Covid19, di mana virus penyakit ini sudah mendunia dan membuat kekhawatiran bagi semua negara karena menyebabkan banyaknya korban jiwa di suatu negara, yang mengakibatkan berkurangnya penduduk suatu negara. Dengan Indonesia menganut paham Republik, maka masyarakatlah unsur yang paling utama, dominan dan harusnya paling diutamakan. Kepentingan merekalah yang harus dituruti pemerintah karena pemerintah adalah sekelompok orang yang diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk membuat peraturan, mengatur dan menghukum anggota masyarakat.  

Negara Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar dengan adanya masalah Covid-19 ini. sehingga kurangnya komunikasi dan sosialisi antara pemerintah dan masyarakat. Pihak masyarakat sendiri sebenarnya akan mengikuti kemauan pemerintah dikarenakan adanya wabah Covid-19 ini. Namun, karena ada beberapa kepentingan yang tidak tercukupi seperti kebutuhan akan pangan dan penghasilan (ekonomi), maka masyarakat tidak merasa aman akan adanya aturan yang dibuat oleh pemerintah tersebut (Lockdown wilayah).  Jika dilihat dari sudut pandang karakter masyarakat, bahwa opsi lockdown di Indonesia cenderung sulit untuk direalisasikan, apalagi jika sampai menerapkan sanksi bagi yang melanggar. menyebut tiga faktor menjadi penyebabnya, yaitu sosial, kultural dan spiritual. Secara sosial, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat komunal, artinya memiliki ketergantungan yang sangat kuat atas kebersamaan dengan orang lain.  

Faktanya tujuan dibuatnya penerapan sistem Social Distancing dengan cara Lockdown ini, agar mencegah terjadinya penyebaran secara cepat dari orang ke orang lainnya yang berasal dari terbukanya akses jalan dari wilayah satu kewilayah lainnya. Masyarakat membutuhkan kebenaran dan solusi akan hal tersebut, karena dengan adanya kebenaran dapat memunculkan aturan yang baru dan dapat diakui dalam masyarakat dan dapat dijadikan patokan untuk seseorang tersebut taat akan hukum.

REFERENSI

Centers for Disease Control and Prevention (2020). 2019 Novel Coronavirus, Wuhan, China.
Citroner, G. Healthline (2020). China Coronavirus Outbreak: CDC Issues Warning, Multiple Cases in U.S.
Evans, M. Patient (2020). Wuhan Coronavirus: What You Need to Know.
https://w3.uinsby.ac.id/sikap-ilmiah-menghadapi-pandemi-covid-19/
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200513163033-20-503008/689-kasus-positif-baru-rekor-tertinggi-corona-harian-di-ri
Huang, et al. (2020). Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. The Lancet, 6736(20), pp. 1-10.
Wang, et al. (2020). A Novel Coronavirus Outbreak of Global Health Concern. The Lancet, 6736(20), pp. 1-4.
WebMD (2020). Coronavirus.
World Health Organization (2020). Coronavirus.
World Health Organization (2020). Novel Coronavirus (2019-nCoV).