Apakah Gugatan Prabowo-Sandiaga Dibuat Oleh Orang yang Tidak Memahami Hukum?

Ilustrasi.net

Oleh : Slamet Santoso )*

Sebelum sidang gugatan Pemilu dimulai, isi dari petitum Prabowo – Sandiaga Uno sudah dipertanyakan dan diragukan oleh beberapa pihak, apakah isi dari petitum tersebut dapat meluluhkan hati para Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) atau tidak. Dimana salah satu isi dari gugatan tersebut adalah memenangkan pasangan 02 dan mendiskualifikasi pasangan 01 Jokowi – Ma’ruf Amin.

Padahal tim Hukum Prabowo – Sandiaga tidak menunjukkan bukti yang cukup kuat dan ketidakkonsistensinya terkait klaim kemenangannya.

Saat ini, Ahli hukum Bivitri Susanti tengah meragukan petitum yang diajukan oleh kubu Prabowo – Sandiaga, ia meragukan lantaran tidak meyakini apakah petitum tersebut benar – benar disusun oleh tim hukum atau oleh pasangan Prabowo – Sandiaga sebagai pemohon principal.

“Muncul pertanyaan di benak saya, apakah gagasan – gagasan terobosan ini dari tim kuasa hukum atau permintaan permohonan principal? Karena seakan – akan bukan dibikin oleh orang hukum,” tutur Bivitri.

Pihaknya meragukan 2 point, yang pertama adalah keraguan akan permintaan pasangan 02 kepada MK untuk mendiskualifikasi Jokowi dan Ma’ruf Amin. Kedua, Meminta Hakim Konstitusi untuk memberhentikan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Secara tegas Bivitri menyatakan bahwa permintaan diskualifikasi tidaklah lazim masuk dalam permohonan hasil pemilihan umum (PHPU)

Tidak berbeda dengan Bivitri, Narasi yang sama juga disampaikan oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Bagi Feri, dua poin yang disebutkan diatas tidaklah logis jika tertuang dalam permohonan hasil pemilihan umum (PHPU).

Petitum terkait dengan pemberhentian seluruh komisioner KPU dan menggantinya dengan yang baru adalah sesuatu yang tidak logis. “Pertanyaan saya, kalau PSU dilaksanakan besok pagi, tapi (komisioner) KPU dinonaktifkan, lantas siapa yang akan melaksanakan Pemilu? Ini benar – benar tidak diterima dengan logika, hukum itu kan harus menggunakan logika,” tutur Feri.

Terkait permintaan Pemungutan Suara Ulang (PSU), Feri mengatakan bahwa permohohan tersebut tidak logis karena tidak memiliki alasan yang jelas. Tidak terdapat paparan bukti sejauh mana kecurangan secara masif sehingga PSU harus diadakan.

“Kalau dilihat dari indikator Bawaslu, kecurangan dikatakan masif bila terjadi di setengah wilayah atau di 50 persen daerah pemilihan, masalahnya itu tidak terlihat dalam permohonan kemarin,” ujarnya.

Menurut pandangan Feri, gugatan dari kubu 02 Prabowo – Sandiaga ini bermasalah karena inkonsisten. Dalam satu bagian dinyatakan adanya penggelembungan suara hingga 22 juta, sementara di bagian lain menyebutkan 16 juta.

Ia juga mengatakan, bahwa akan berbahaya jika MK langsung mengabulkan petitum itu keesokan harinya.

Sementara di sisi lain, tim Hukum Prabowo – Sandiaga juga meminta adanya pemungutan suara ulang.

“Pemungutan suara ulangnya lazim sekali diletakkan dalam petitum. Tetapi yang tidak lazim, dia minta ganti dulu anggota KPU,” tutur Bivitri.

Ketua KPU Arief Budiman juga turut angkat bicara dan menyebut petitum tersebut berkaitan dengan dugaan pelanggaran etika penyelenggara pemilu.

Pihaknya menuturkan bahwa semestinya gugatan itu tidak dilayangkan saat ini karena MK hanya mengurusi sengketa yang terjadi usai hasil pemilu. Dia mengingatkan setiap perselisihan dalam penyelenggaraan pemilu punya wadah masing – masing untuk penyelesaian.

“kalau ada pelanggaran administrasi pemilu dilaporkan ke Bawaslu. Kalau ada pidananya ditangani Gakkumdu. Kalau ada pelanggaran etik, kinerja komisioner, silakan dibawa ke DKPP. Kalau ada sengketa hasil dibawa ke MK. Ini salah alamat atau tidak, ya silakan Mahkamah yang menilai,” tutur Arief.

Selain itu dalam permohonan persidangan, BPN juga banyak mengutip pendapat para ahli yang tak lebih dahulu dikonfirmasi. Akibatnya, membuat permohonan yang diajukan tidaklah relevan.

Jika menilik pada upaya petitum yang diajukan, tampak terlihat bahwa Tim Kuasa Hukum Prabowo – Sandiaga membangun asumsi bahwa Kubu 01 dan KPU telah curang dalam pilpres 2019. Namun petitum yang diajukan tersebut tidak masuk akal dan tidak harus diajukan ke MK.

Padahal semestinya mereka memperkuat bukti dan saksi dalam persidangan tersebut, namun permasalahannya bukti yang mereka miliki bisa jadi tidak valid atau sahih, bagaimana bisa MK mau mengabulkan permohonan kubu 02 jika bukti yang diberikan sangatlah lemah, atau jangan – jangan yang menyusun petitum tersebut merupakan orang yang tidak mengerti hukum?

)* Penulis adalah pengamat sosial politik