Ancaman Radikalisme Harus Tetap Diwaspadai di Tengah Pandemi Covid-19

ilustrasi

Oleh : Indah Kusumasari )*

Pandemi virus corona atau Covid-19 saat ini telah menjadi bencana nasional di Indonesia. Dalam situasi upaya penanganan oleh pemerintah menanggulangi pandemi tersebut, isu-isu yang mengarah kepada gerakan radikalisme yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara masih terlihat terus bermunculan.  Ancamannya, menyasar ke semua elemen.

Wakil Sekretaris Pemuda Pejuang Bravo-5, Reaky Tuanany  dalam diskusi yang digelar Lembaga Kajian Dialektika bertema “Mewaspadai Paham Radikalisme dan Perilakunya di Era Milenial”, bahwa situasi penanganan wabah Covid-19 berpotensi ditunggangi kelompok-kelompok anti-pemerintahan termasuk kelompok radikal.

Di tengah wabah Covid-19, seharusnya masyarakat dan pemerintah bersatu dan bekerja bersama untuk segera menangani ancaman penyebaran dan dampak-dampaknya. Namun, menurut Rezky, di ruang-ruang publik terlihat munculnya berbagai hoaks dan serangan politik yang arahnya lebih bertujuan mendegradasi pemerintahan yang sah, bahkan ditemukan isu-isu yang mengarah kepada gerakan radikalisme yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pandangannya, Rezky menjelaskan bahwa situasi Covid-19 justru dijadikan peluang bagi gerakan radikalisme membangun dan memperkuat sentimen negatif atau ketidakpercayaan publik kepada pemerintah, menebar berita-berita hoax terkait kegagalan negara dalam penanganan Covid-19. Manuver tersebut dianggap sangay berbahaya. Hal itu tentu sangat disayangkan jika ada kalangan tertentu memanfaatkan wabah Covid-19 dengan membangun gerakan bernuansa politis yang mengancam kehidupan bernegara, berbangsa, dan beragama. Lebih disayangkan lagi, di tengah wabah bencana nasional Covid-19.

Menurut Waode Zainab ZT, kandidat Phd Al Musthofa International University, Iran,  bahwa di Islam, gerakan radikalisme itu memang sudah ada dari sejak masa sahabat. Di mana, saat itu sudah muncul jargon La Hukma Illalloh (tidak ada hukum selain hukum Alloh). Slogan ini kemudian digunakan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan melakukan gerakan radikalisme. Di Indonesia radikalisme itu bukan lagi soal idelogi sebagaimana di masa Islam di era sahabat, atau gerakan radikalisme di Barat yaitu gerakan ekstrem yang bersifat politik.

Sementara itu, Arif Rosyid, Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI), menilai radikalisme justru tumbuh subur di luar masjid, kalaupun ada paling-paling tidak lebih dari 1%. Ia mengimbau kepada umat Islam agar jangan terjebak kepada perbedaan-perbedaan yang dapat memecah belah bangsa. Zuhad Aji Firmantor menjelaskan, penting bagi elite pemerintah, TNI-Polri, pemerintah daerah, elite partai merumuskan dan menjawab tantangan berat terkait ancaman radikalisme.

Direktur Lembaga Kajian Dialektika, Muhammad Khutub, mengatakan bahwa pandemi Covid-19 yang saat ini menjangkiti seluruh negara, termasuk Indonesia menjadikan kehidupan keagamaan mengalami tantangan dan perubahan yang sangat ekstrem. Selain itu kehidupan sosial keagamaan sekarang bergeser tidak lagi face to face melainkan secara virtual. Media virtual termasuk media sosial bisa dijadikan alat propaganda oleh kalangan tertentu di tengah ketakutan warga terhadap wabah ini, termasuk kelompok radikal dengan agenda tertentu yang mengganggu pemerintahan.

Maka dari itu, pemerintah beserta jajarannya, didukung oleh seluruh elemen masyarakat, perlu terus mewaspadai dan mengantisipasi potensi ancaman radikalisme secara aktif ditengah bencana pandemi Covid-19 yang kita harapkan segera dapat berakhir dan teratasi. 

)* Penulis adalah kontributor Mahasiswa Universitas Khairun Ternate