Adab dalam Menerima Tamu dan Bertamu dalam Islam

Ilustrasi

Silaturahim adalah salah satu hal yang sangat dianjurkan dalam agama Islam. Selain dapat mempererat hubungan persaudaraan, silaturahim juga dapat memberi banyak manfaat bagi seseorang yang senantiasa menjaga dan melakukannya. Apalagi manusia sebagai makhluk sosial tidak akan mampu hidup sendiri-sendiri. Mereka akan selalu saling membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain.

Menerima dan memuliakan para tamu merupakan salah satu wujud silaturahim yang cukup efektif. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan tentang anjuran memuliakan para tamu:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya ia memuliakan tamunya," (HR Muslim).

Salah satu bentuk memuliakan para tamu adalah dengan cara menjaga adab-adab atau etika yang berlaku tatkala seseorang kedatangan tamu di rumahnya. Adab-adab dalam menerima tamu ini secara ringkas dijelaskan dalam kitab Ghida’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab:

مِنْ آدَابِ الْمُضِيفِ أَنْ يَخْدُمَ أَضْيَافَهُ وَيُظْهِرَ لَهُمْ الْغِنَى، وَالْبَسْطَ بِوَجْهِهِ، فَقَدْ قِيلَ: الْبَشَاشَةُ خَيْرٌ مِنْ الْقِرَى -وَمِنْ آدَابِ الْمُضِيفِ أَيْضًا أَنْ يُحَدِّثَهُمْ بِمَا تَمِيلُ إلَيْهِ أَنْفُسُهُمْ، وَلَا يَنَامَ قَبْلَهُمْ، وَلَا يَشْكُوَ الزَّمَانَ بِحُضُورِهِمْ، وَيَبَشُّ عِنْدَ قُدُومِهِمْ، وَيَتَأَلَّمُ عِنْدَ وَدَاعِهِمْ، وَأَنْ لَا يَتَحَدَّثَ بِمَا يُرَوِّعُهُمْ بِهِ، بَلْ لَا يَغْضَبُ عَلَى أَحَدٍ بِحَضْرَتِهِمْ لِيُدْخِلَ السُّرُورَ عَلَى قُلُوبِهِمْ بِكُلِّ مَا أَمْكَنَ . وَعَلَيْهِ أَيْضًا أَنْ يَأْمُرَ بِحِفْظِ نِعَالِ أَضْيَافِهِ، وَيَتَفَقَّدَ غِلْمَانَهُمْ بِمَا يَكْفِيهِمْ، وَأَنْ لَا يَنْتَظِرَ مَنْ يَحْضُرُ مِنْ عَشِيرَتِهِ إذَا قَدَّمَ الطَّعَامَ إلَى أَضْيَافِهِ

"Sebagian adab penerima tamu (kepada tamunya) adalah (1) melayani para tamu (dengan menyediakan jamuan), (2) menampakkan kondisi serbacukup, dan (3) menunjukkan wajah gembira—ada pepatah mengatakan, ‘Menunjukkan wajah riang gembira lebih baik dari memberi suguhan (tanpa disertai wajah yang gembira)".

Adab penerima tamu yang lain adalah (4) mengajak ngobrol para tamu dengan hal-hal yang disukai mereka, (5) tidak tidur terlebih dahulu sebelum mereka pergi atau beristirahat, (6) tidak mengeluh tentang waktu dengan kehadiran mereka, (7) menampakkan wajah berseri-seri ketika para tamu datang, (8) merasa sedih saat mereka pergi, (9) tidak bercakap tentang sesuatu yang  membaut mereka takut, (10) tidak marah kepada siapa pun selama mereka bertamu agar sebisa mungkin tetap tertanam suasana bahagia di hati mereka. Bagi penerima tamu, (11) hendaknya memerintahkan kepada para tamu agar menjaga sandal mereka, (12) memberi sesuatu (oleh-oleh) kepada anak-anak kecil dari para tamu, dan (12) tidak menunggu orang yang akan datang ketika ia masih menyuguhi jamuan kepada para tamunya,” (Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini, Ghida’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab, juz 2, hal. 116-117).

Dengan menjaga adab-adab di atas maka akan terwujud rasa nyaman dari para tamu yang hadir, sehingga terjalin keharmonisan dan hubungan emosional yang kuat di antara tuan rumah dan para tamu. Semoga kita dapat mengamalkan adab-adab di atas dengan baik dan benar. 

Silaturahim merupakan salah satu sarana yang baik dalam menjalin persaudaraan dan kerukunan dengan orang lain. Apalagi lebaran yang lazim menjadi momen perjumpaan atau kumpul-kumpul dengan orang-orang terdekat, kerabat, tetangga, teman, guru, ataupun orang lain. 

Sementara itu, adab dalam bertamu, dalam salah satu hadits dijelaskan:

إِذَا دَخَلَ الضَّيْفُ عَلَى الْقَوْمِ دَخَلَ بِرِزْقِهِ وَإِذَاخَرَجَ خَرَجَ بِمَغْفِرَةِ ذُنُوْبِهِمْ

“Ketika tamu datang pada suatu kaum, maka ia datang dengan membawa rezekinya. Ketika ia keluar dari kaum, maka ia keluar dengan membawa pengampunan dosa bagi mereka,” (HR Ad-Dailami).

Agar dalam bertamu tercapai hasil yang baik, maka hendaknya seseorang selalu menjaga adab atau etika dalam bertamu. Berikut adab-adab dalam bertamu ke rumah orang lain:

وَأَمَّا آدَابُ الضَّيْفِ فَهُوَ أَنْ يُبَادِرَ إلَى مُوَافَقَةِ الْمُضِيفِ فِي أُمُورٍ : مِنْهَا أَكْلُ الطَّعَامِ ، وَلَا يَعْتَذِرُ بِشِبَعٍ ، وَأَنْ لَا يَسْأَلَ صَاحِبَ الْمَنْزِلِ عَنْ شَيْءٍ مِنْ دَارِهِ سِوَى الْقِبْلَةِ وَمَوْضِعِ قَضَاءِ الْحَاجَةِ . وَلَا يَتَطَلَّعُ إلَى نَاحِيَةِ الْحَرِيمِ ، وَلَا يُخَالِفُ إذَا أَجْلَسَهُ فِي مَكَان وَأَكْرَمَهُ بِهِ . وَلَا يَمْتَنِعُ مِنْ غَسْلِ يَدَيْهِ ، وَإِذَا رَأَى صَاحِبَ الْمَنْزِلِ قَدْ تَحَرَّكَ بِحَرَكَةٍ فَلَا يَمْنَعُهُ مِنْهَا

“Adab bertamu adalah sesegera mungkin beradaptasi dengan tuan rumah dalam beberapa hal: antara lain (1) menyantap makanan (yang dihidangkan), tak perlu beralasan sudah kenyang, (2) tidak bertanya pada tuan rumah tentang sesuatu di rumahnya kecuali arah kiblat dan toilet, (3) tidak mengintip ke arah tempat wanita,(4) tidak menolak ketika dipersilakan duduk di suatu tempat dan (tidak menolak) ketika diberi penghormatan, (5) membasuh kedua tangan (ketika hendak makan dengan tangan), (6) ketika melihat tuan rumah bergerak untuk melakukan sesuatu, jangan mencegahnya” (Muhammad bin Ahmad bin Salim as-Safarini, Ghida’ al-Albab Syarh Mandzumah al-Adab, juz 2, hal. 117)

Selain adab-adab dalam bertamu di atas, Syekh Sulaiman al-Jamal juga menjelaskan adab-adab yang lain dalam bertamu:

ومن آداب الضيف أن لا يخرج إلا بإذن صاحب المنزل وأن لا يجلس في مقابلة حجرة النساء وسترتهن وأن لا يكثر النظر إلى الموضع الذي يخرج منه الطعام 

“Sebagian adab dalam bertamu adalah tidak beranjak keluar kecuali atas seizin tuan rumah, tidak duduk di hadapan ruangan perempuan, tidak banyak memandangi ruangan tempat keluar makanan,” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 17, hal. 407)

Sebagian adab yang lain dalam bertamu adalah ketika seseorang hendak menginap, hendaknya tidak melebihi dari tiga hari, hal ini sesuai dengan anjuran dalam hadits:

وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَثْوِيَ عِنْدَهُ حَتَّى يُحْرِجَهُ

“Jamuan hak tamu berjangka waktu tiga hari. Lebih dari itu, jamuan adalah sebuah sedekah. Tidak boleh bagi tamu untuk menginap di suatu rumah hingga ia menyusahkannya,” (HR. Bukhari Muslim).

Maka sebaiknya adab-adab di atas benar-benar dijaga dan dilaksanakan pada saat bertamu ke rumah orang lain, agar tercapai maksud dan tujuan dalam bertamu sehingga akan terjalin hubungan yang baik. Wallahu a’lam.  

nu.ord.id / Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining, Rambipuji, Jember