9 Istri Bung Karno, Paling Istimewa adalah Fatmawati

Soekarno

Dr (HC) Ir H Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama, lahir pada 6 Juni 1901 dan wafat pada 21 Juni 1970, pada usia 69 tahun. Soekarno lahir di Jawa Timur dan wafat di Jakarta. Dia adalah presiden RI pertama untuk periode 1945-1967. 

Baca juga: Orang Bengkulu Wajib Tahu, 8 Istimewanya Fatmawati Soekarno

Baca juga: Hari Pahlawan: Fatmawati, Putri Bengkulu yang Diberi Gelar Pahlawan Nasional Diera Gusdur

Dalam berbagai riwayat, Soekarno terkenal memiliki banyak istri, tercatat istrinya berjumlah 9 orang. Tokoh yang tidak hanya di akui di Indonesia, namun juga dunia ini juga tercatat pernah mempersunting gadis dari Bengkulu, yakni Fatmawati. Nama Fatmawati kini diabadikan menjadi nama bandar udara di Bengkulu: Bandar Udara Fatmawati Soekarno. Sebelum diganti nama, bandara udara itu dulunya bernama Bandar Udara Padang Kemiling.

Istri Soekarno
Siti Oetari Tjokroaminoto, istri pertama Bung Karno

 

Disadur dari laman wikipedia.org, Siti Oetari adalah putri sulung Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam sekaligus. Siti Oetari  dinikahi oleh Presiden RI Soekarno pada umur 16 tahun, pada tahun 1921 di Surabaya, Jawa Timur. 

Pernikahan antara Soekarno dan Siti Oetari  terjadi ketika Soekarno menumpang di rumah HOS Tjokroaminoto, saat itu Soekarno sedang menempuh pendidikan di sekolah lanjutan atas. Setelah menikah, Bung Karno kemudian meninggalkan Surabaya dan pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di THS (sekarang ITB). Kisah asmara keduanya berakhir dengan Soekarno menceraikan Siti Oetari secara baik-baik.

Dalam sebuah artikel disebutkan, selama menikah dengan Siti Oetari, Bung Karno sama sekali tidak menyentuh Siti Oetari. Artinya, Siti Oetari hingga diceraikan masih perawan. 

Kemudian, setelah bercerai dengan Bung Karno pada 18 tahun, Oetari kembali menikah pada tahun 1924 di usia 19 tahun dengan seorang bernama Sigit Bachroensalam. Pernikahan ini menghasilkan seorang putra bernama Ir Harjono Sigit Bachroensalam (lahir 21 September 1939). Nah sosok inilah yang kemudian dikenal sebagai ayah dari artis Maia Estianty. Pernikahan antara keduanya berakhir setelah Sigit meninggal pada tahun 1981 dan meninggalkan Oetari sebagai janda di usia 76 tahun.

Inggit
Inggit Garnasih, istri kedua Bung Karno

 

Disadur dari laman wikipedia.org, Inggit Garnasih lahir di Desa Kamasan, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 17 Februari 1888. Kemudian dia meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, 13 April 1984 pada umur 96 tahun.

Inggit Garnasih adalah istri kedua dari Bung Karno. Mereka menikah pada 24 Maret 1923 di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.

Pernikahan mereka dikukuhkan dengan Soerat Keterangan Kawin No. 1138 tertanggal 24 Maret 1923, bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda. Sekalipun bercerai tahun 1942, Inggit tetap menyimpan perasaan terhadap Soekarno, termasuk melayat saat Soekarno meninggal. Kisah cinta Inggit-Soekarno ditulis menjadi sebuah roman yang disusun Ramadhan KH yang dicetak ulang beberapa kali sampai sekarang. 

Dua bulan sebelum  meninggal, Fatmawati mengunjunginya atas bantuan Ali Sadikin.

Inggit Garnasih terlahir dengan nama Garnasih saja. Garnasih merupakan singkatan dari kesatuan kata Hegar Asih, dimana Hegar berarti segar menghidupkan dan Asih berarti kasih sayang. Kata Inggit yang kemudian menyertai di depan namanya berasal dari jumlah uang seringgit. Diceritakan bahwa Garnasih kecil menjadi sosok yang dikasihi teman-temannya. Begitu pula ketika ia menjadi seorang gadis, ia adalah gadis tercantik di antara teman-temannya. Di antara mereka beredar kata-kata, "Mendapatkan senyuman dari Garnasih ibarat mendapat uang seringgit." Banyak pemuda yang menaruh kasih padanya. Rasa kasih tersebut diberikan dalam bentuk uang yang rata-rata jumlahnya seringgit. Itulah awal muda sebutan Inggit yang kemudian menjadi nama depannya

Saat masih remaja, Inggit adalah kembang desa di kampungnya. Banyak lelaki yang berupaya mendekat untuk sekadar bisa mencuri perhatiannya. Ia pernah dipersunting oleh Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Residen Priangan. Namun, pernikahan ini tidak bertahan lama dan berakhir dengan perceraian. Kemudian, ia menikah lagi dengan Haji Sanusi, seorang pengusaha yang juga aktif di Sarekat Islam. Pernikahan mereka baik-baik saja meskipun tidak bisa juga dibilang bahagia karena ia sering ditinggal suaminya yang terlalu sibuk. Hingga kemudian datanglah Sukarno. Pada waktu itu, Sukarno telah mempunyai istri bernama Siti Oetari. Namun, rasa cintanya pada Oetari lebih condong seperti cinta kepada saudara. Sukarno pun akhirnya menceraikan Oetari, begitu pula dengan Inggit yang secara resmi berpisah dengan Sanusi. Keduanya lalu menikah di rumah orangtua Inggit di Jalan Javaveem, Bandung.

Dalam pandangan masyarakat, Inggit Garnasih merupakan sosok pahlawan yang sebenarnya memiliki jasa yang sangat besar untuk kemerdekaan Indonesia, bagaimana tidak, Inggit Garnasih lah yang selalu setia mendampingi Soekarno dimasa-masa sulitnya, akan tetapi namanya tak pernah disebut dalam buku pelajaran. bagi pembaca yang belum mengenal sosok Inggit Garnasih, beliau adalah istri kedua Soekarno yang membiayai perjuangan Soekarno mulai dari biaya kuliahnya hingga aktivitas politiknya. Selama ini nama Inggit Garnasih masih asing di telinga masyarakat Indonesia bahkan yang lebih memprihatinkan namanya masih asing di tanah kelahirannya yaitu Kamasan.

fatmawati
Fatmawati, istri ketiga Bung Karno

 

Disadur dari laman wikipedia.orgFatmawati bernama asli Fatimah. Dia merupakan istri ketiga Bung Karno yang lahir di Bengkulu, 5 Februari 1923 dan meninggal dunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada 14 Mei 1980 pada umur 57 tahun.

Fatmawati memiliki keistimewaan tersendiri, dia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967. Fatmawati dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Nama Fatmawati bersama Soekarno kini diabadikan menjadi nama bandar udara di Bengkulu, yakni Bandar udara Fatmawati Soekarno. Bahkan, gambar Fatmawati juga diusulkan menjadi gambar mata uang rupiah, oleh Tim Pengusung gabungan dari beberapa organisasi. Fatmawati adalah putri terbaik Bengkulu yang juga menjadi Pahlawan Nasional dengan keputusan Presiden RI nomor: 118/TK/2000. Baca: Fatmawati Soekarno Diusulkan Jadi Ikon Uang Nasional

uang fatmawati
Contoh uang bergambar Fatmawati yang diusulkan oleh Pemprov Bengkulu

Dalam riwayat yang ditulis, Fatmawati lahir dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah. Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Sedang ayahnya merupakan salah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.

Pada tanggal 1 Juni 1943, Fatmawati menikah dengan Soekarno, yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai lima orang putra dan putri, yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

Makam Fatmawati di TPU Karet Bivak, Jakarta: Pada tanggal 14 Mei 1980 Fatmawati meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Mekah. Dia lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta.

Selain memberikan penghormatan kepada Fatmawati sebagaimana ditulis diatas, Pemprov Bengkulu juga akan membangun Monumen Fatmawati. Monumen Fatmawati rencananya akan rampung dibangun tahun 2019 ini. 

Monumen Fatmawati akan dibangun di Simpang Lima Ratu Samban di Kota Bengkulu. Baca: Tahun ini, Akan Dibangun Monumen Fatmawati

Hartini
Hartini, istri keempat Bung Karno

 

Disadur dari laman Wikipedia.org, Hartini lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 20 September 1924 dan meninggal dunia  di Jakarta, 12 Maret 2002 pada umur 77 tahun. Hartini adalah istri keempat Presiden RI Soekarno. Ayahnya Osan adalah pegawai Departemen Kehutanan yang rutin berpindah kota. Hartini menamatkan SD di Malang dan ia diangkat anak oleh keluarga Oesman di Bandung. Hartini melanjutkan pendidikan di Nijheidschool (Sekolah Kepandaian Putri) Bandung. Hartini menamatkan SMP dan SMU di Bandung. Hartini remaja dikenal cantik, dan Hartini muda menikahi Soewondo dan menetap di Salatiga. Ia menjadi janda pada usia 28 tahun dengan lima orang anak. Tahun 1952 di Salatiga, Hartini berkenalan dengan Soekarno yang rupanya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat itu Soekarno, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada.

Setahun kemudian, Hartini dan Soekarno bertemu saat peresmian teater terbuka Ramayana di Candi Prambanan. Melalui seorang teman, Soekarno mengirimkan sepucuk surat kepada Hartini dengan nama samaran Srihana. Dua hari setelah Guruh Soekarno Putra lahir, tanggal 15 Januari 1953, Soekarno meminta izin Fatmawati untuk menikahi Hartini. Fatmawati mengizinkan, tetapi kemudian menyebabkannya menuai protes dari berbagai organisasi wanita yang dimotori Perwari yang anti poligami. Soekarno dan Hartini akhirnya menikah di Istana Cipanas, 7 Juli 1953. Tahun 1964 Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor. Hartini ikut mendampingi acara kenegaraan Soekarno di Istana Bogor, antara lain menemui Ho Chi Minh, Norodom Sihanouk, Akihito dan Michiko.

Makam Hartini di TPU Karet Bivak
Pada masa tahun 1950-an, saat nasionalisme dan revolusi sangat kuat mewarnai citra diri Soekarno, membuat peran Hartini di Istana Bogor sangat besar dan ia menjadi satu-satunya istri yang paling lama bisa bertemu dengan Soekarno. Meski demikian dekat, Soekarno masih menikahi Ratna Sari Dewi (1961), Haryati (Mei 1963) dan Yurike Sanger (Agustus 1964). Namun sejarah mencatat, Hartini telah mengisi paruh kehidupan Soekarno. Dia lambang perempuan Jawa yang setia, nrimo, dan penuh bekti terhadap guru laki. Hartini meninggal di Jakarta 12 Maret 2002 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak. Hartini meninggalkan 6 anak yaitu Bayu Soekarnoputra dan almarhum Taufan Soekarnoputra (berayah Bung Karno) serta Siti Suwandari, Herwindo, Tri Harwanto, Sri Wulandari, dan (berayah Soeswondo).

Ratna Sari Dewi
Ratna Sari Dewi, istri kelima Bung Karno

 

Disadur dari laman Wikipedia.org, Ratna Sari Dewi Soekarno atau Ratona Sari Devi Sukaruno, biasa dipanggil Dewi Sukarno (Devi Sukaruno), lahir dengan nama Naoko Nemoto (Nemoto Naoko) di Tokyo, Kekaisaran Jepang, 6 Februari 1940. Kemudian, dia wafat pada umur 79 tahun. 

Ratna Sari Dewi adalah istri ke-6 Soekarno yang merupakan Presiden Indonesia pertama. Dewi menikah dengan Soekarno pada tahun 1962 ketika berumur 22 tahun dan mempunyai anak yaitu Kartika Sari Dewi Soekarno. Dewi berkenalan dengan Soekarno lewat seorang relasi ketika Bung Karno berada di Hotel Imperial, Tokyo. Menjelang redupnya kekuasaan Soekarno, Dewi meninggalkan Indonesia. Setelah lebih sepuluh tahun bermukim di Paris, sejak 1983 Dewi kembali ke Jakarta. Pada 2008, ia kembali ke Jepang dan menetap di Shibuya, Tokyo.

Ketika berumur 19 tahun, Dewi Soekarno bertemu dengan Soekarno yang telah berumur 57 tahun sewaktu sedang dalam kunjungan kenegaraan di Jepang. Sebelum menjadi istri Sukarno, ia adalah seorang pelajar dan entertainer. Ada gosip bahwa dirinya telah bekerja sebagai geisha, namun ia telah berulang kali menyangkal hal ini. Dia mempunyai seorang putri bernama Kartika.

Setelah meninggalnya Sukarno, Ratna Sari Dewi Soekarno kemudian pindah ke berbagai negara di Eropa termasuk Swiss, Prancis, dan Amerika Serikat. Pada tahun 2008 ia menetap di Shibuya, Tokyo, Jepang, di mana dia tinggal di sebuah tempat yang luas dengan empat lantai dan penuh dengan memorabilia.

Ratna Sari Dewi Soekarno dikenal dengan kepribadiannya yang terus terang. Ia sering disebut sebagai Dewi Fujin (Devi Fujin, secara harfiah "Ibu Dewi" atau "Madame Dewi"). Nama lengkapnya adalah Ratna Sari Dewi Soekarno (Ratona Sari Devi Sukaruno), tapi dia lebih sering disebut sebagai "Madame Dewi". Dia membuat penampilan di media massa setelah Januari 2008 kematian suaminya penerus Soeharto, menyalahkan dia untuk melembagakan sebuah rezim represif dan menyerupai Despotisme Kamboja, Pol Pot.

Pada tahun 2008 Ratna Sari Dewi Soekarno menjalankan sendiri bisnis perhiasan dan kosmetik serta aktif dalam penggalangan dana. Terkadang dia tampil di acara TV Jepang dan menjadi juri untuk kontes kecantikan, seperti Miss International 2005 di Tokyo.

Pada bulan Januari 1992, Dewi menjadi terlibat di dalam banyak perkelahian dipublikasikan di sebuah pesta di Aspen, Colorado, Amerika Serikat dengan sesama tokoh masyarakat internasional dan ahli waris Minnie Osmeña, putri mantan presiden Filipina. Ketegangan sudah ada antara keduanya, dimulai dengan pertukaran di pihak lain beberapa bulan sebelumnya, di mana Dewi terdengar tertawa ketika Osmena menyatakan rencana politiknya, di antaranya adalah keinginan untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden Filipina. Aspen meludah yang konon dilaporkan oleh dipicunya sebuah kiasan yang dibuat oleh Dewi untuk Osmena di masa lalu yang kemudian memuncak dengan Dewi memukul wajah Osmena dengan memakai gelas anggur. Pukulan tersebut meninggalkan luka yang membutuhkan 37 jahitan. Dewi kemudian dipenjara selama 34 hari di Aspen untuk perilaku kacau setelah kejadian.

Pada tahun 1998, ia berpose untuk sebuah buku foto berjudul Madame Syuga yang diterbitkan di negara asalnya, di mana sebagian gambar yang ditampilkan ia pose-pose setengah bugil dan menampakan seperti tato. Bukunya untuk sementara tidak didistribusikan di Indonesia dan segera dilarang karena dengan banyak orang Indonesia merasa tersinggung dengan apa yang dianggap mencemarkan nama baik Sukarno dan warisannya.

Pada 1994, Ratna Sari Dewi menggegerkan publik dengan menjadi model di sebuah buku foto berjudul "Madame De Syuga" dengan menampilkan tubuhnya setengah telanjang.[7] Buku tersebut terbit di jepang pada 1998 dan dilarang beredar di Indonesia karena dianggap mencoreng nama baik proklamator Indonesia.[8] Kritik pedas masyarakat Indonesia yang dilontarkan kepada Ratna Sari Dewi hanya ditanggapi enteng olehnya, sebab menurutnya buku yang diluncurkannya adalah sebuah hasil karya seni yang menunjukkan bahwa perempuan usia lanjut masih memiliki lekukan tubuh yang indah.

Haryati
Haryati, istri keenam Bung Karno

 

Disadur dari laman Wikipedia.org, Haryati yang lahir pada tahun 1940 adalah istri keenam Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Sebelum menikah dengan Soekarno, Haryati adalah mantan penari istana sekaligus Staf Sekretaris Negara Bidang Kesenian.

Soekarno dan Haryati akhirnya menikah pada tanggal 21 Mei 1963. Namun pada tahun 1966, Haryati diceraikan. Soekarno beralasan sudah tidak cocok. Saat itu, Soekarno juga sedang dekat dengan Ratna Sari Dewi Soekarno.

ISTRI
Kartini Manoppo, istri ketujuh Bung Karno

 

Disadur dari laman Wikipedia.org, Kartini Manoppo (1939-1990) adalah istri ketujuh Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Kartini merupakan wanita asal Bolaang Mongondow, Sulawesi. Dia terlahir dari keluarga terhormat. Kartini Manoppo pernah bekerja sebagai pramugari Garuda Indonesia.

Soekarno dan Kartini Manoppo bertemu saat melihat lukisan karya Basuki Abdullah. Sejak saat itu, Kartini Manoppo tak pernah absen tiap kali Soekarno pergi ke luar negeri.

Soekarno dan Kartini Manoppo kemudian menikah pada tahun 1959. Keduanya dikarunia anak bernama Totok Suryawan Sukarno pada tahun 1967.

istri
Yurike Sanger, istri kedelapan Bung Karno

 

Disadur dari laman Wikipedia.org, Yurike Sanger adalah istri kedelapan Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia. Pertama kali Presiden Soekarno bertemu dengan Yurike Sanger pada tahun 1963. Kala itu Yurike masih yang masih berstatus pelajar menjadi salah satu anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika pada acara Kenegaraan.

Pada 6 Agustus 1964, Soekarno dan Yurike Sanger menikah secara Islam di rumah Yurike dengan berjalan singkat. Pertemuan itu rupanya langsung menarik perhatian Sang Putera Fajar. Perhatian ekstra diberikan sang presiden kepada gadis muda itu, mulai dari diajak bicara, duduk berdampingan sampai diantar pulang ke rumah. Rupanya, benih-benih cinta sudah mulai di antara keduanya. Singkat waktu, Bung Karno menyatakan perasaannya dan menyampaikan ingin menikah dengan sang pujaan hati. Seutai kalung pun diberikan ke Yurike. Akhirnya, Bung Karno menemui orangtua Yurike. Pada 6 Agustus 1964, dua anak manusia yang tengah dimabuk cinta itu menikah secara islam di rumah Yurike.

Kondisi Soekarno pada 1967 yang secara de facto dimakzulkan sebagai presiden, berdampak pada kehidupan pribadi. Soekarno yang menjadi tahanan rumah di Wisma Yoso menyarankan agar Yurike meminta cerai.

istri
Heldy Djafar, istri kesembilan Bung Karno

 

Disadur dari laman Wikipedia.org, Heldy Djafar lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Provinsi Borneo, Indonesia, 11 Juni 1947; dan wafat pada umur 71 tahun. Dia adalah istri kesembilan Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia. Heldy Djafar lahir dari pasangan H Djafar dan Hj Hamiah. Ia bungsu dari sembilan bersaudara. Ia menikah dengan Soekarno pada tahun 1966. Kala itu Soekarno berusia 65 tahun sementara Heldy Djafar berusia 18 tahun. Saksinya Ketua DPA Idham Chalid dan Menteri Agama Saifuddin Zuhri.

Pernikahan keduanya hanya bertahan dua tahun. Kala itu situasi politik sudah semakin tidak menentu. Komunikasi tak berjalan lancar setelah Soekarno menjadi tahanan di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto. Heldy sempat mengucap ingin berpisah, tetapi Soekarno bertahan. Soekarno hanya ingin dipisahkan oleh maut.

Akhirnya, pada tanggal 19 Juni 1968, Heldy yang berusia 21 tahun menikah lagi dengan Gusti Suriansyah Noor, keturunan dari Kerajaan Banjar. Kala itu Heldy yang sedang hamil tua mendapat kabar Soekarno wafat. Soekarno tutup usia pada tanggal 21 Juni 1970, dalam usia 69 tahun. Belakangan, satu dari enam orang anaknya, Maya Firanti Noor, menikah dengan Ari Sigit, cucu Presiden RI Soeharto.

Heldy lahir di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada tanggal 10 Agustus 1947 dari pasangan H Djafar dan Hj Hamiah. Ia bungsu dari sembilan bersaudara. Ketika Hj Hamiah mengandung Heldy, wanita itu sempat melihat bulan bulat seutuhnya (bulan purnama). Lalu seorang rekan H Djafar yang sedang bertandang ke rumahnya (seorang Tionghoa) mengatakan bahwa saat bayinya lahir harus dijaga hati-hati sampai beranjak dewasa, dan saat Heldy duduk di bangku SMP, seorang tante yang dianggap pandai meramal dan biasa disapa Mbok Nong mengatakan bahwa kelak jika dewasa, ia akan mendapatkan "orang besar". Sejak kecil, ia sudah khatam membaca Al-Qur'an.

Erham, kakak kandung Heldy yang paling tua menyebut, orangtua mereka cukup terpandang di daerahnya. Rumah orang tua Heldy adalah rumah panggung. Bangunannya memanjang ke samping mencapai 30 meter dan memanjang ke belakang 40 meter. Terbuat dari kayu pilihan dengan plafon rumah setinggi empat meter dan memiliki jendela yang berukuran panjang ke bawah dengan kisi-kisi kayu, lalu berlapis kaca pada bagian luarnya. Jumlah jendelanya pun cukup banyak. Di atas pintu masuk depan rumah tertulis tahun dibangunnya rumah tersebut, tahun 1938.

Pada saat penumpang mobil menyebarkan selebaran berisi pengumuman bahwa akan ada pidato Presiden Soekarno di Samarinda, kakak kandung Heldy, Yus, ikut memunggut lembaran kertas itu sambil berdiri di balik pagar rumahnya, Jalan Mangkurawang. Heldy pun merengek ingin bertemu Presiden, namun ditolak.

Waktu terus berjalan. Heldy beranjak menjadi remaja yang menarik perhatian rekan-rekannya. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP yang letaknya di Gunung PedidiJalan RondongDemang TenggarongKutai KartanegaraKalimantan Timur. Saat ia duduk di bangku SMP kelas tiga, Heldy pindah sekolah ke sebuah SMP di Samarinda. Kepindahan Heldy dilakukan karena adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Akibatnya, H Djafar, ayah Heldy untuk sementara waktu beristirahat dari pekerjaannya di Oost Borneo Maatschapppij.

Setelah tamat dari SMP, Heldy hijrah ke Jakarta menyusul kakaknya untuk mencari ilmu. Cita-cita nya menjadi seorang desainer interior. Kendati jarak antara Samarinda-Jakarta lumayan jauh, namun Heldy tak pernah surut untuk melangkahkan kakinya meraih asa. Dari Samarinda, ia menumpang kapal menuju Balikpapan. Selanjutnya ia naik kapal laut Naira dari Pelabuhan SemayangBalikpapan, menuju ke Surabaya ditemani kakaknya, Milot (jamilah) dan Idzhar iparnya. Selanjutnya dari Surabaya mereka menumpang kereta api menuju Jakarta dan berhenti di Stasiun Gambir. Saat kakinya kali pertama menyentuh Jakarta, Heldy merasa bangga.

Apalagi pada tahun 1963, jalanan di Jakarta sudah beraspaljembatan Semanggi yang lebar dan membentuk lengkungan menarik, rumah dan gedung terbuat dari beton dan rimbunnya dedaunan pohon-pohon besar di tepi jalan. Di kota metropolitan, Heldy tinggal di rumah kakaknya Erham, di Jalan Ciawi III nomor 4, Kebayoran BaruJakarta Selatan. Erham sendiri bekerja di sebuah perusahaan bank dan sudah memiliki tiga orang anak. Sementara Yus, kakak Heldy, waktu itu masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ia memilih tinggal di asrama Kalimantan, Jalan Cimahi 16, MentengJakarta Pusat.

Yus dikenal sebagai aktivis organisasi. Ketika masih kuliah ia sudah didapuk menjadi Ketua Perhimpunan Pemuda Kalimantan Timur. Seminggu berada di Jakarta, Heldy diajak Yus main-main ke asrama. Di sana ada pemuda bernama Adji, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kehadiran Heldy menarik perhatian Adji. Sejak itu, kendati usianya terpaut lima tahun, keduanya saling mengunjungi.

Di Jakarta, Heldy masuk ke Sekolah Guru Kepandaian Putri (SGKP) yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Kepandaian Keputrian Atas (SKKA). Sekarang sekolah itu diubah lagi menjadi Sekolah Menengah Kepandaian Keputrian (SMKK). Letak sekolahnya di daerah Pasar Baru. Di sekolah ini, sejumlah gadis dari daerah, menimba ilmu tentang dunia masak-memasak dan mengurus rumah tangga. Sejak sekolah di tempat itu, setiap hari Heldy naik bus menuju ke sekolahnya. Kadang ia dijemput oleh rekannya bernama Sri.

Di sekolahnya, khusus buat murid yang beragama Islam, diadakan pencarian bakat siapa yang mahir membaca Al Qur'an. Kepala sekolah memberikan pengumuman kepada para murid yang bisa membaca Al-Qur'an disarankan ke kantor kepala sekolah untuk dites. Dari sekian banyak murid dipilihlah Heldy. Kepandaiannya membaca Al Qur'an membuat Heldy makin dikenal di sekolahnya. Suatu hari Heldy diundang sebagai qoriah dalam acara peringatan Nuzulul Qur'an di asrama mahasiswa Universitas Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat.

Heldy diundang oleh guru kimianya yang waktu itu juga tercatat sebagai mahasiswa kedokteran UI. Namanya Zulkifli TS Tjaniago (kini menjadi dokter spesialis kandungan). Sejak saat itu Heldy tak hanya dikenal di sekolahnya saja. Para mahasiswa banyak yang mengenal namanya. Bahkan, ia pernah dipilih menjadi sampul majalah Pantjawarna. Di sampul tersebut, Heldy memakai busana khas Tenggarong, lengkap dengan sanggul cepol di atas dan tusuk kembang goyang.

Pada tahun 1964, Yus dipercaya oleh protokol kepresidenan untuk menyiapkan barisan Bhinneka Tunggal Ika ke Istana Negara dalam rangka penyambutan tim Piala Thomas. Heldy terpilih sebagai bagian dari barisan tersebut sebagai wakil dari Kalimantan. Begitu juga sepupu dan keponakannya. Presiden Soekarno menaiki anak tangga Istana melalui barisan Bhineka Tunggal Ika yang sudah rapi berbaris dan berdiri di setiap anak tangga. Bung Karno menaiki anak tangga satu persatu sambil melihat ke kanan dan ke kiri. Tepat saat mendekati barisan di belakang Heldy, ia menyapa dengan caranya yang khas.

Selanjutnya, pertemuan antara Heldy dengan Bung Karno terjadi, ketika kepala sekolahnya, mengajak murid-muridnya, termasuk Heldy, ke Istana Bogor untuk masuk ke dalam barisan Bhineka Tunggal Ika. Mereka berangkat menumpang bus khusus. Sesampainya di Istana Bogor, para pagar ayu diminta berbaris dan menempati posisinya masing-masing untuk siap-siap menerima tamu. Saat itu, Heldy memilih berdiri di pojok, takut dilihat Sukarno. Ketika Presiden Sukarno memasuki ruangan untuk melihat barisan Bhineka Tunggal Ika, matanya mendadak menatap Heldy. Melalui ajudannya, Heldy lalu dipanggil Soekarno.

Setelah itu, pertemuan antara Soekarno dengan Heldy terjadi kembali, saat anggota barisan Bhineka Tunggal Ika diwajibkan menyanyi di depan presiden, satu persatu. Dari sekian anggota, Heldy mendapat urutan nomor satu untuk menyanyi. Ia pun tarik olah vokal, menyanyikan lagu asal Kalimantan. Usai menyanyikan lagu berjudul 'Bajiku Batang' (padi), Bung Karno meminta Heldy untuk menyanyikannya sekali lagi.

Pertemuan selanjutnya terjadi saat Yus kakak kandung Heldy meminta ke Istana untuk menjadi pagar ayu kembali. Saat Bung Karno masuk ruangan, kedua matanya menyapu semua sudut ruangan. Lalu, Bung Karno memperhatikan Heldy yang ketika itu mengenakan kebaya warna hijau. Lalu dipanggilah Heldy. Heldy pun diminta untuk menampilkan tari lenso. Ia takut melakukan kesalahan saat lenso dengan presiden. Untungnya, selama di Jakarta, ia pernah diajari menari lenso oleh kakaknya. Malam itu, tamu negara yang hadir diantaranya ada Titiek PuspaRita Zahara dan Feti Fatimah. Heldy lalu duduk di kursi yang letaknya persis di belakang presiden. Selama ini siapapun yang dipilih Bung Karno untuk menari lenso, selalu duduk di dekatnya. Saat berlenso dimulai. Bung Karno mulai mengajak Heldy.(Adv/Jk)