40 Hari Kepergian Almarhumah Wina, Dia Orang Baik

Kuburan Almarhumah Wina Mardiani

Catatan Demon Fajri

Lama tak nulis di Social Networking System, FaceBook (FB). Saat di lihat dinding wall penuh, sarang laba-laba dan berdebu. Tak terawat. Mirip rumah angker. Cat dinding wall sudah mulai pudar.

Lantai penuh dengan padang pasir. Tanah dipenuhi Padang Savana, mirip Oro-oro Ombo padang rumput yang luas, gunung tertinggi di pulau Jawa, Semeru. Soal dinding wall, done. Lupakan!.

Kali ini tidak membahas soal dinding wall yang penuh jamur, atau keindahan alam Indonesia, yang memiliki terlalu banyak tempat ‘mewah’. Dengan nuansa alam yang terlalu sayang jika tidak dieksplorasi dan dinikmati.

Seperti, Gunung Semeru beserta keindahannya, hanyalah segelintir dari contoh nyatanya. Tulisan hari ini membahas ''Mengenang Kepergian Wina'', mahasiswi yang meninggal dunia secara tidak wajar. Sangat, sangat dan sangat tidak wajar.

Hari ini, Sabtu 18 Januari 2020. Tepat 40 hari kepergian sosok perempuan kelahiran Medan Jaya, 23 Maret 1999. Anak pertama dari 3 bersaudara itu ditemukan pada Minggu 8 Desember 2019, sekira pukul 17.06 WIB.

Sebelum ditemukan tak bernyawa. Perempuan 20 tahun ini sempat dinyatakan hilang, pada Rabu 4 Desember 2019. Hingga pada akhirnya, perempuan baik ini ditemukan meninggal dunia. Persis di hari ulang tahun, aku. Ya. Minggu 8 Desember 2019. Jangan tanya ulang tahun ke berapa!

Sembilan bulan sebelumnya. Minggu 31 Maret 2019, tepatnya. Tak disangka merupakan chat terakhir melalui Social Networking System, Instagram (Ig), dengan perempuan yang memiliki nama lengkap, Wina Mardiani.

Sekira pukul 17.59 WIB, 9 bulan lalu. Aku sempat upload foto di Ig. Foto Ranu Kumbolo, danau di kaki Gunung Semeru. Danau ini merupakan 'Surganya Gunung Semeru' yang berada di ketinggian 2.400 Mdpl.

Kawasan dengan luas sekira 15 Ha itu menjadi salah satu lokasi transit para pendaki sebelum ke puncak Mahameru, Puncaknya Gunung Semeru. Indah, memang indah. Aku manahan nafas. Begitulah caption di foto itu.

Komentar pun datang dari perempuan yang akrab disapa ina. Baginya, foto itu sangat keren. Dari dulu, kata Ina, hanya bisa melihat foto dan film 5 CM. Film drama Indonesia yang dirilis pada 12 Desember 2012. Film ini disutradarai Rizal Mantovani.

Dibintangi Herjunot Ali dan Fedi Nuril. Film itu merupakan film yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama, 5 CM.

Genta (Fedi Nuril), Arial (Denny Sumargo), Zafran (Herjunot Ali), Riani (Raline Shah) dan Ian (Igor Saykoji) adalah lima remaja yang telah menjalin persahabatan sepuluh tahun lamanya. Mereka memiliki karakter yang berbeda-beda.

''Iya, dari dulu cuma bisa lihat di gambar sama di film 5 CM,'' tulis Ina, di pesan chat Ig, Minggu 31 Maret 2019.

Waktu itu, Ina pernah menulis, jika sewaktu-waktu bisa melihat langsung keindahan alam, Ranu Kumbolo. Muncak ke Gunung Mahameru, gunung tertinggi di pulau Jawa, 3.676 Mdpl. Namun, mimpi itu sudah terkubur. Hanya sebatas obrolan chat.

Balik ke masa sekolah, Ina. Mengenal sosok anak pertama pasangan suami istri Aguswandi dan Ani, itu sejak 8 tahun lalu. Sekira 2011, kira-kira. Saat itu aku bertugas di wilayah Mukomuko Selatan.

Meliputi, Kecamatan Teramang Jaya, Pondok Suguh, Sungai Rumbai, Ipuh, Malin Deman dan Kecamatan Air Rami. Kala itu Ina duduk di bangku kelas 2 MTsN Ipuh. Sekarang kelas VIII.

Tahun itu, orantua Ina memiliki warung manisan. Depan lapangan merdeka, Desa Medan Jaya Kecamatan Ipuh. Pulang sekolah, Ina selalu kebagian menjaga warung manisan milik orangtuanya. Aku sering mampir.

Tidak hanya dengan Ina. Kedua orangtua Ina, pun aku akrab. Kerap singgah ke rumahnya, di ujung Desa Medan Jaya. Berbatasan langsung dengan Desa Pulau Makmur, Kecamatan Ipuh.

Tidur dan makan, di rumah orangtua Ina pun sudah menjadi bagian hidup, saat itu. Tidak terhitung. Kayak rumah sendiri. Serius! Ayah Wina, Aguswandi, sempat menyediakan satu kamar di bagian depan rumahnya.

Itu diperuntukkan ketika aku malas pulang ke Kota Mukomuko, yang jaraknya tidak kurang dari 100 km atau 2 jam perjalanan. Tidak hanya di rumah. Di warung miliknya sering dijadikan peristirahatan, bobok siang.

Acap kali Wina menanyakan sesuatu. Tentang mata pelajarannya. Bahkan, lainnya. Sesekali ada rejeki. Ina selalu meminta bandar. Untuk membeli sesuatu. Aku penuhi. Serius! Akrab, memang. Kayak adik dan abang. Kira-kira begitu cerita, singkatnya.

Berselang 1,5 tahun. Aku angkat koper dari Mukomuko Selatan. Sekira pertengahan tahun 2013. Menuju Kota Mukomuko. Aku dipercaya General Manager SKH Radar Mukomuko, Ahmad Kartubi, memegang jabatan sebagai Plt. Manager Sirkulasi, di Surat Kabar Harian (SKH) Radar Mukomuko.

Beban itu merangkap menjadi jurnalis di wilayah Mukomuko Selatan. Seminggu sekali aku balik ke Mukomuko Selatan. Dua jam perjalanan. Komunikasi dengan keluarga Ina terus intens. Mampir ke warung dan ke rumahnya. Singgah buat makan. Sesekali.

Mengapa musti Manager Sirkulasi? Alasannya, agar lebih leluasa bergerak. Tidak full 24 jam berkecimpung dengan namanya ''kejadian''. Menghadap layar. Bertemu dengan huruf-huruf di keyboard notebook. Begitulah.

Sebab, aku lebih suka menulis potensi wisata alam di Mukomuko, kala itu. Travelling, akrabnya. Berbeda dengan rekan aku. Amris. Dia memilih duduk di redaksi. Alasannya, ingin memarahi prajurit-prajurit di lapangan.

''Aku ini di bayar untuk marah-marah. Aku dulu di marah-marah. Sekarang aku mau balas mau marah-marah,'' ucap Amris, ingat aku.

Aneh memang. Jika alasan duduk di redaksi hanya untuk marah-marah. Itulah. Amris punya alasan sendiri. Begitu juga dengan aku. Kami berdua satu angkatan di SKH Radar Mukomuko.

Amris itu nama aslinya. Nama belakang Tanjung, merupakan pemberian dari Direktur Utama SKH Radar Mukomuko, Dedy Wahyudi. Nama itu terlalu pendek. Bagi, Dedy. Sehingga ditambah menjadi Amris Tanjung, Amris ATj.

Amris tinggi di Desa Bunga Tanjung Kecamatan Teramang Jaya Kabupaten Mukomuko. Kala itu. Berawal dari asal muasal desa-lah namanya ditambah menjadi Tanjung. Apa hubungan Amris dengan cerita Mengenang Wina?.

Amris merupakan orang pertama yang bertugas di wilayah Mukomuko Selatan. Aku merupakan pengganti Amris untuk menjelajah wilayah lima kecamatan di Mukomuko Selatan.

Balik lagi ke Wina. Usai menempuh pendidikan di MAN Ipuh, sekira 2017. Perempuan berparas cantik ini melanjutkan jenjang pendidikan ke Perguruan Tinggi. Beruntung. Anak pertama itu diterima di Universitas Bengkulu (Unib), 2,5 tahun lalu.

Pertengahan 2017. Wina mulai menimba ilmu di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ina kos di daerah Unib belakang. Jalan WR Supratman Kelurahan Beringan Raya Kecamatan Muara Bangkahulu, Kota Bengkulu, persisnya.

Komunikasi melalui via telepon pun terus berjalan. Baik dengan orangtua Ina, Aguswandi maupun dengan Ina. Bagi mereka, aku sudah menjadi bagian dari keluarga mereka.

Saat pertama kali ngekos di wilayah Unib Belakang. Aku mampir. Ina dan orangtuanya menunjukkan tempat tinggalnya di kos itu. Tidak banyak obrolan serius, kala itu. Pesan orantua Ina. Hanya meminta tolong jaga Ina di Bengkulu.

Hari-hari terus berjalan. Tidak terasa tahun pun lewat. Komunikasi tetap lancar dengan orangtua Ina. Hingga Ina, sekalipun. Awal 2019. Ibu Ina. Di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah HD, Kota Bengkulu.

Ibuk, begitu Ina memanggilnya. Sakit komplikasi, jatung, liver dan ginjal. Ibuk Ina cukup lama di rawat di RSUD itu. Aku sempat menjenguk, saat itu. Disitu aku tidak lepas dari bercanda. Untuk menghibur ibuk Ina.

Berbagai obrolan lepas, aku ucapkan. Dari hal yang penting hingga tidak penting sekalipun. Kehadiran aku di RSUD. Tidak terlepas untuk membantu mengurus BPJS Kesehatan, Ibuk Ina.

Berselang sepekan. Bahkan, lebih. Ibuk Ina diperboleh pulang ke rumahnya. Di rawat jalan. September 2019, kira-kira. Ani, ibunda Ina kembali di rawat ke rumah sakit. Kali ini rumah sakit di Jakarta.

Tidak kurang dari 3 bulan, Ibunda Ina di rawat disalah satu rumah sakit di Jakarta. Saat itu, Ina sempat ikut ke Jakarta. Bersama kedua orangtuanya. Begitu juga dengan kedua adik-nya. Ayu dan Jaka.

Minggu 17 November 2019. Ina pulang ke Kota Bengkulu. Ina musti mengikuti uji semester. Sementara kedua orangtuanya tetap tinggal di Jakarta. Ina pulang sendiri ke Kota Bengkulu. Menggunakan maskapai.

Awal Desember 2019. Minggu 8 Desember 2019. Masyarakat Bengkulu, bahkan Indonesia, digegerkan dengan penemuan sosok mahasiswi, meninggal dunia dalam keadaan terkubur. Dengan posisi kaki dan tangan terikat. Sadis, memang!

Mahasiswi semester V, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Bengkulu (Unib), itu meninggal dunia secara tidak wajar, di belakang kos-nya. Tidak kurang dari 100 meter kira-kira.

Perempuan asal Desa Medan Jaya Kecamatan Ipuh Kabupaten Mukomuko tersebut diduga dibunuh secara sadis. Ina ditemukan di areal rawa perkebunan sawit bekas areal persawahan.

Saat ditemukan bagian kepala tertutup dengan karung, hingga bahu. Di bagian atas tubuhnya, ditimpa dengan batu berukuran cukup besar, pecahan tembok. Ina terkubur dengan kedalamaan sekira 1,5 meter atau setara dengan dada orang dewasa.

Sebelum ditemukan tak bernyawa. Pada Selasa 3 Desember 2019, Wina masih berkomunikasi dengan orangtuanya yang tinggal di desa Medan Jaya kecamatan Ipuh kabupaten Mukomuko provinsi Bengkulu. Saat itu korban berkomunikasi melalui sambungan telepon, sekira pukul 09.01 WIB.

Komunikasi pagi hari itu merupakan komunikasi terakhir Wina dengan orangtuanya, sebelum dinyatakan hilang. Wina baru diketahui hilang ketika rekan-rekan kost dan group WhatsApp (WA) dari Selasa 3 Desember 2019, siang, tidak berkomentar.

Malam itu rekan korban, langsung menghubungi orangtua Wina yang berada di desa Medan Jaya kecamatan Ipuh kabupaten Mukomuko. Namun, telepon dari rekan korban tidak dihiraukan orangtua Wina.

Rabu 4 Desember 2019, pagi. Salah satu rekan korban menghubungi adik wina, Ayu. Di mana rekan Wina menanyakan keberadaan Wina, apakah Wina ada di Desa Medan Jaya atau tidak. Namun, korban tidak ada di rumahnya di desa Medan Jaya.

Mendapati informasi tersebut, rekan korban langsung berusaha mencari keberadaan Wina. Sementara, orangtua Wina berangkat ke kota Bengkulu, guna memastikan anak pertamanya tersebut.

Setelah dinyatakan tidak pulang. Berbagai usaha pencarian pun dilakukan. Orangtua Ina, sanak saudara Ina, rekan Ina. Pencarian tidak hanya di rumah-rumah rekannya. Namun, pencarian dilakukan juga melalui penyebaran foto Ina di berbagai platform media sosial.

Hingga pada akhirnya, pada Minggu 8 Desember 2019, sekira pukul 17.06 WIB, perempuan kelahiran, kecamatan Ipuh kabupaten Mukomuko, 23 Maret 1999, itu ditemukan tidak bernyawa tak jauh dari tempat kos-nya.

Saat ditemukan kepala korban tertutup dengan karung hingga bahu, dengan posisi tangan dan kaki dalam keadaan terikat tanpa mengenakan busana. Selain itu, disekujur tubuh korban diduga juga di lumuri minyak.

Di bagian atas galian sedalam dada orang dewasa itu diberi tanaman keladi. Di dalam galian itu terdapat bekas pecahan bangunan berupa batu bata, empat buah batu koral berukuran besar serta kelapa tua yang sudah bangking.

Tak jauh dari lokasi penemuan jenazah atau sekira 20 meter, ditemukan cangkul, skop dan satu buah ember serta satu sendal korban yang diketahui baru di beli. Saat itu jenazah Ina di bawa ke rumah sakit Bhayangkara untuk di otopsi.

Berselang, satu hari kemudian. Senin 9 Desember 2019, sekira pukul 19.01 WIB, jenazah Ina dikebumikan di tempat pemakaman umum (TPU), Desa Pasar Baru Kecamatan Ipuh Kabupaten Mukomuko.

Hari ini, Sabtu 18 Januari 2020, merupakan hari ke-40 meninggalnya Ina. Semoga amal dan ibadahnya diterima di sisi-NYA. Amin. YRA. Surga untuk Wina Mardiani. Ina perempuan baik. Sangat Baik. Berbakti kepada orangtua.

Begitulah cerita singkat sosok perempuan baik asal Desa Medan Jaya Kecamatan Ipuh, Mukomuko, yang berakhir tidak wajar. Aku akan ingat. Sangat ingat. Kebaikan dan candaan Ina.

Saya rasa itu saja. Cukup itu. Ini bukan bahan publikasi. Yang tenang disana, Wina. Doa terbaik untuk kamu, Wina.(**)